Semangat di pagi hari yang kian memudar, datang lalu memudar, datang, memudar lalu datang, datang, dan datang kembali, untuk memenuhi sebuah kekosongan selama mungkin.
Pekat, cerah, magenta, juntai membingkai bersatu padu membentuk unsur yang berkesinambungan. Di sisi yang berlawanan terdapat akar yang kokoh merambat melapisi lapisan tanah hingga ke dalam celah tak terjamah, satu bersama bentala. Kokoh berdiri hingga titik tenaga akar serabut uzur. Riak teduh jawara biru dan mallow beradu. Dalam duelnya tidak ada yang menang atau kalah namun bisa dibilang mereka terjerat dalam hubungan parasitisme. Nyalang tajamnya mata pisau membuat mulut terkunci rapat. Utuhnya ketulusan terpotong-potong hingga bagian terkecil, satu-satunya yang utuh adalah nurani yang paling kecil nan lemah. Yang seharusnya manis bagaikan madu mengaliri kerongkongan dimana membuat pipi mengembung bahagia realitanya hanya dalam angan terselubung ku saja. Bersama memeluk uap panas untuk memberi rasa sesaat yang buyar seiring waktu. Betapa menggiurkannya warna magenta itu, menyala diantara entitas di sekitar warna kelam baja.
Terberai dengan bebas belenggu yang menyatukan dua perasaan bersama, mengikat perasaan kita yang tak sempurna selama sekian tahun. Bersama meniti pertengahan puncak yang menjulang tinggi hingga ke atas awan. Ternyata, untuk menggapai puncak itu kita tak bisa terus bersama. Salah satu perasaan merosot tak tahu sampai titik mana, sedangkan satu yang lainnya mau tak mau, sudi tak sedia harus tetap melanjutkan mendaki. Terjangan yang dihadapi kini lebih berat dan besar, berat beban yang kita pikul semakin tinggi semakin terasa menyakitkan. Tidak tahu tantangan apa lagi yang akan datang, namun kita tidak bisa melewatinya bersama-sama. Keretakkan hati membuat kita tanpa sengaja terpisah, akankah itu sepadan dengan semua yang akan datang? (16,11)
Dentingan jarum jam menemani malam temaram yang terasa hening. Guruh gundala melanda jiwa, merasuk seiring nada yang terdengar. Kaca yang menghiasi kamar diiringi pantulan sinar berkamuflase menjadi seonggoh sosok manusia tanpa detak. Menjelma lalu kemudian menemani rintihan sendu suatu objek. Sayup-sayup terdengar langkah kaki gontai berpijak dengan alas yang basah. Pasir yang terlepas dari genggaman jatuh menyusuri tanah, meyakinkan hati akan garis takdir yang dipaksa tuk percaya. Bertahan dengan sisa-sisa ketegaran jiwa, memaksanya menutup rapat jeritan dari relung dalam. Hingga terombang-ambing akan setitik cercah harapan cahaya semu di ujung malam.
Komentar
Posting Komentar